SOLEKHUDIN

M. Wildan

Sidoarjo seakan tak pernah luput dari bencana kemanusiaan skala nasional. Pernah melahirkan pejuang buruh sekelas Marsinah, kabupaten dengan luas paling mungil di Provinsi Jawa Timur itu sejak 2006 lalu dilumat lumpur. Ini sisi lain bencana dari kacamata seorang aktivis.

Usianya sekitar 33 tahun. Dia aktivis muda dan bersahaja. Tubuhnya atletis, ringan senyum dan tangan. Tidak suka belanja dan membawa uang. Pikiran-pikirannya berat, idealis dan mbulet. Bapaknya pelukis lokal Sidoarjo yang telah almarhum. Sejak belia suka memberontak dan meronta. Jalanan baginya adalah ruang berekspresi menentang ketidakadilan. Jauh sebelum maraknya demo-demo di Sidoarjo, dia sudah terlebih dulu hadir dengan tuntutan sederhana; apa yang menjadi hak si kecil maka berikanlah.

Bagi para aktivis di Sidoarjo, Khud –demikian Solekhudin biasa dipanggil– adalah legenda hidup yang mudah dijumpai di saat-saat yang genting. Saat demo menentang korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga-lembaga pemerintahan, misalnya, dengan mudah kita melihat pria bersahaja ini memegang poster. Dia tidak begitu fasih berorasi, juga tidak menjadi macan podium. Tapi, buat para aktivis yang membutuhkan pengkayaan lahan untuk mengembangkan pikiran-pikiran liar yang humanis, dia adalah “dukun”nya.

“Dukun” ini memiliki mantera dengan perangkat yang apa adanya, tapi mampu memindahkan mimpi para aktivis ke tempat yang benar. Sehingga mereka tidak salah arah dan kebablasan. Dia mampu pula menjadikan panggung demo menjadi altar magis. Bila yang lain sibuk mencari kata yang pas untuk meneriakkan kata agar didengar orang, Khud cenderung berdiam diri; menjadi arsitek batin yang sibuk bermeditasi.

Tapi Khud adalah korban lumpur Porong. Rumah dan tanahnya di Jatirejo seluas 5.000 meter persegi kini tinggal kenangan. Suatu kali, kata Khud, ia rindu kampung halaman yang kini dipenuhi lumpur panas. Inilah kerinduan seorang pemuda desa terhadap ruang yang pernah membesarkan eksistensinya. Diciptakanlah perahu dari empat tong yang dilas berjajar, lalu dia mendayung bersama teman-temannya. Rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari bibir tanggul ditempuh selama delapan jam. “Capek karena perahu tidak bisa bergerak, lumpurnya terlalu dalam,” cerita awal Khud.

Mengenai Jatirejo yang kini hilang dari peta itu, Khud memiliki catatan menarik. Di desa yang awalnya dilupakan orang ini, ada pelatuk yang tersembunyi. Di dalamnya tersimpan puluhan ton bahan peledak yang setiap saat siap melumat Sidoarjo. Konon, di sisi Utara desa berdiri kokoh pabrik minuman keras terbesar. Pemodalnya kuat dan banyak. Ada yang dari lingkungan Cendana, Jakarta hingga konglomerat dan birokrat asal Papua. Di sini pula tempat kos para pelacur yang lelah menjajakan diri. Di sudut desa yang lain, pondok pesantren dan masjid sibuk mendaras ayat-ayat Tuhan.

Pabrik minuman keras itu pula yang menghidupi ratusan jiwa warga Jatirejo. Sehingga saat ada ribut-ribut dari kalangan agamawan yang merekomendasi untuk menutup pabrik ini, warga justru membelanya. Di mata kaum agamawan yang hitam-putih, desa jelas menampakkan wajah yang paradoks dan berdosa. Tidak demikian dengan Khud. Baginya, peristiwa ini bukanlah pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, antara hitam dan putih, antara yang santri dan abangan dan seterusnya. Tapi sebuat pergelutan mereka yang berpandangan hitam-putih, mereka yang ingin mengeksploitasi Jatirejo menjadi komoditas untuk melanggengkan bisnis dan politik, dan ragam wajah lain.

Keruwetan itu malah sengaja dipelihara bahkan dipertahankan kaum “pembesar” dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya sangat klasikal; kepentingan pribadi. Tidak lama dari peristiwa ramainya pro-kontra pendirian pabrik minuman keras, bom waktu pun meledak. Sidoarjo jadi headline media massa selama berbulan-bulan  –bahkan bertahun-tahun. Lumpur yang muntah tanpa kompromi itu penanda bumi protes dengan caranya sendiri. Dia kesakitan tubuhnya dibor kaum yang munafik, serakah dan palsu.

Saat warga Jatirejo, Renokenongo, Siring dan lainnya sibuk menyelamatkan harta bendanya, Khud, juga terlihat sibuk. Tapi yang dibawanya hanya lukisan-lukisan Bapak almarhum. Sementara gebyok kayu, kursi dan meja antiknya dibiarkan begitu saja ditelan lumpur. “Bapak dulu melukisnya dengan jiwa, ini harta paling mahal keluarga kami,” ujarnya.

Akhirnya, “Saya kini tiap hari duduk di pinggir tanggul, menghisap kretek, memandangi rumah dan kehidupan kami di masa lalu dan misteri Tuhan yang masih tersisa, kenapa kami yang miskin ini yang dilindas bencana?,” tanyanya gelisah. ***

MATAHARI YANG DITEMBAK MATI

M. Wildan

Ini sekelumit kisah seorang pahlawan seni tari Jawa. Ia ditembak mati dan dituduh sebagai mata-mata.

Vincennes, Perancis, di pagi yang berkabut tanggal 15 Oktober 1917. Sekelompok regu tembak siap menghamburkan peluru. Targetnya cuma satu dan perempuan pula: seorang penari tarian Jawa, Mata Hari namanya.

Dorrr…..berondongan senapan berbunyi. Asap keluar dari masing-masing senapan.  Perlahan-lahan, dia berlutut, kepalanya tetap tegak tanpa ekspresi. Kemudian dia jatuh ke belakang, terlipat di pinggang, dengan kaki berada di bawah tubuhnya. Akhirnya dia terbaring diam tak bergerak, dengan wajah menghadap langit. Sebuah kematian yang sangat tenang..

Sebelum tubuhnya diberondong pelor tajam, ia bahkan sempat menebarkan uluk cinta. Dia meniupkan ciuman jauh kepada para eksekutor dan semua yang hadir di sana. Yang unik, dia tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun. Bahkan sempat mengacaukan konsentrasi para eksekutor dengan membuka pakaian. Mata Hari juga menolak ditutup matanya. Sebuah keberanian dan kepasrahan menghadapi maut yang tidak sembarang orang mampu menjalaninya.

Kenapa Mata Hari dihukum mati? Perempuan bernama asli Margaretha Geertuida Zelle, warga Belanda ini dituduh Perancis menjadi mata-mata Jerman. Situasi Perang Dunia memaksa dia untuk bekerja membanting tulang sebagai penari dan dituduh menjadi agen intelijen.

Margaretha Geertuida Zelle menggunakan nama Mata Hari sejak ikut suaminya, perwira kolonial Hindia Belanda bejat yang bertugas di Jawa dan Sumatera antara tahun 1897-1900. Selama di Jawa, dia belajar bahasa dan budaya Jawa, termasuk tari-tariannya. Karena jatuh cinta dengan budaya Indonesia, diapun mengganti namanya dengan Mata Hari dan tidak mau lagi dipanggil Margaretha. Sejak kembali ke Eropa dia menghidupi dirinya dengan menjadi penari. Dia menjadi terkenal tidak saja karena totalitasnya menggeluti seni: melestarikan tarian Jawa.

Pada saat Perang Dunia pertama, Belanda menjadi pihak yang netral. Sebagai warga negara Belanda, Mata Hari leluasa bepergian ke negara-negara Eropa untuk menari. Sayangnya, Mata Hari malah dituduh telah direkrut Jerman dan Inggris untuk menjadi mata-mata di Perancis.

Margaretha si “Mata Hari” lahir pada 7 Agustus 1876 di Leeuwarden Belanda. Sebagai anak kedua dari Adam Zelle dan istrinya Antje van der Meulen (keturunan Indonesia-Belanda) dan putri semata wayang dari empat anaknya Zelle yang semuanya laki-laki. Ayahnya seeorang pedagang. Semasa anak-anak dia biasa dilayani pembantu dan hidup berkecukupan.

Yang pasti, Margaretha menikmati masa kanak-kanaknya seperti anak kebanyakan. Namun ketika ia berusia 13 tahun, bisnis ayahnya bangkrut dan mulailah drama kesedihan demi kesedihan. Dua tahun kemudian, ibunya meninggal. Ia dititipkan tinggal dengan kerabat keluarganya, dan ia mulai mengikuti pendidikan guru namun gagal. Pada usia 18 tahun ia mencoba merubah nasibnya dengan mengirim surat ke sebuah iklan yang di pasang di sebuah surat kabar. Iklan itu menyebutkan ada seorang tentara yang sedang mencari jodoh. Tentara yang mencari jodoh itu berusia 38 tahun namanya Kapten Rudolph MacLeod. Seorang Belanda keturunan Skotlan.

Pada 11 Juli 1895 mereka menikah dan lahir dua anak, seorang laki-laki yang lahir pada 30 Januari 1897 di Netherland diberi nama Norman. Sayangnya, Mac Leods ini seorang yang gemar main perempuan. Bahkan saat Margaretha tengah melahirkan, John malah tega berhubungan intim dengan perempuan lain di rumah mereka. Lima bulan setelah kelahiran bayinya, akhirnya mereka memutuskan pindah ke Jawa Timur. Margaretha menginjak usia 20 tahun sementara Mac Leods memasuki usia 41 tahun. Setelah pindah ke Jawa Timur, lahirlah putrinya Jeanne-Louise pada 2 Mei  1898.

Kehadiran dua anak tak membuat perilaku Mac Leods berubah. Dia semakin gemar main perempuan sehingga rumah tangga itu dilalui dengan banyak percekcokan dan pertikaian. MacLeods juga suka cemburu yang tanpa alasan pada isterinya yang memang cantik dan lembut. Bahkan tega menuduh Margaretha berselingkuh dengan lelaki lain. Padahal ia sendirilah yang playboy dan perilaku buruk itu tak berubah banyak meski telah menikah. Bahkan tak jarang memukul isterinya di forum yang dihadiri banyak orang.

Suatu ketika Mac Leods ditugaskan di kota Medan. Margaretha diminta untuk menyusul kemudian. Di Medan Margaretha menempati rumah Van Rheedes seorang akuntan untuk pemerintah kolonial. Inilah masa-masa Margaretha mulai menceburkan diri dengan belajar dunia seni tari. Perhatiannya yang sungguh-sungguh membawanya ikut suatu pergelaran sendratari Jawa, dan itu terus berlanjut hari demi hari. Ia juga tertarik mendalami sejarah, bahasa dan budaya Indonesia, belajar bahasa Melayu.

Berbagai kesempatan pun terbuka untuk unjuk kebolehan menari. Margaretha ikut pula menari sambil menghibur diri karena suami yang hobi selingkuh. Pada tahun 1897, Margaretha pulang ke Jawa Timur karena ada tawaran manggung dari pemerintah kolonial Belanda di Surabaya. Di sini dia mulai menggunakan nama ‘Mata Hari.’

Dari sisi spiritualitas, Margaretha tertarik mendalami kepercayaan Hindu. Sering di kamarnya, ia mempraktikkan tarian tantra diiringi oleh suara musik orkestra yang berasal dari imaginasinya. Seluruh jiwa raganya terpaut kepada tarian. “Saya seringkali merasa seperti seorang ‘Apsara’, atau seorang wanita Penari dari Kayangan, yang akan memperoleh kebahagiaannya hanya ketika ia menari bagi para Dewa….” ujarnya.

Kebiasaan buruk Mac Leods terus berlanjut. Ia juga tidak lagi menafkahi istri dan anaknya. Namun, ia balik menuduh Margaretha tak memiliki perhatian pada keluarga dan tidak keibuan. “Seharusnya kamu bisa bersih-bersih sendiri dan merapikan rumah, jangan hanya menari,” kata Mac leods yang tidak memahami bagaimana repotnya jadi ibu dengan dua.

Sebulan Margaretha tinggal di Medan datang kejadian tragis pada 25 Juni 1899. Norman anaknya yang berusia dua setengah tahun meninggal karena diracun tapi anak perempuannya berhasil diselamatkan. Hasil investigasi membuktikan penyebabnya adalah John menganiaya tentara pribumi. Kebetulan tentara ini memiliki hubungan cinta dengan wanita pengasuh anak-anaknya. Si pengasuh balas dendam kekasihnya dipukuli dengan meracun anaknya. Kejadian itu membuat Mac Leods gusar dan menyalahkan Margaretha yang dituduh kurang memperhatikan anak-anak.

Margaretha kembali ke Holland ditemani Mac Leods pada Maret 1902 dan sang putri mereka. Suatu hari ketika Margaretha pulang ke rumah, ia terguncang menyaksikan apartemennya kosong dan John telah minggat bersama puteri mereka yang berusia empat tahun. Margaretha berusaha mencari namun sia-sia. Inilah puncak pertengkaran dan penganiayaan batin yang dialami Margaretha.

Mac Leods malah memfitnah dengan memasang iklan di surat kabar Amsterdam: “Saya minta pembaca koran semua, siapa saja tidak membantu atau memberi apapun kepada Margaretha MacLeod-Zelle sebab isteri saya telah meninggalkan keluarga dan anaknya sendiri”.

Margaretha kini benar-benar sendiri terasing sepi. Tidak memiliki kemampuan untuk bekerja padahal usianya sudah menginjak 27 tahun ini. Suatu hari saat dia membaca koran Belanda ada tawaran kehidupan yang mudah di Paris bagi seniman seperti dirinya. Akhirnya ia memutuskan pergi ke Paris dan singkatnya dia bekerja sebagai pemain sirkus, menjadi model pelukis potret Antonio de La Gandara, dan lama kelamaan dia dikenal sebagai seniman.

Itu karena dia mulai rajin manggung sebagai penari bergaya Oriental. Ia yang menggunakan nama panggung Mata Hari dan mengaku sebagai puteri dari tanah Jawa, anak pendeta Hindu. Saking cintanya kepada Indonesia ia juga mengaku hidupnya telah diabdikan untuk seni tari. Tariannya terbukti bisa mengangkat statusnya bahkan dia populer di kalangan para negarawan dan pejabat militer di berbagai negara, termasuk Perancis dan Jerman.

Dunia berkecamuk Perang Dunia Pertama. Dunia seni budaya mengalami masa sulit. Sementara hidup terus berlanjut. Situasi sulit ini memaksa Mata Hari untuk tetap bisa bertahan hidup. Pada suatu ketika, ia didatangi para agen intelijen Jerman dan ditawari menjadi agennya. Awalnya Mata Hari menolak. Namun ia diancam untuk dibunuh sehingga tidak ada cara lain selain hanya diam dan sesekali memberi informasi.

Pada January 1917, atase militer Jerman di Madrid mengirimkan pesan radio ke Berlin menjelaskan tentang agen mata-mata Jerman yang dapat membantu, yang memiliki kode-panggilan H-21. Agen intelijen Perancis menyadap pesan itu mengenali bahwa H-21 adalah Mata Hari. Dia ditangkap pada 13 February 1917di Paris.

Para sejarawan menganalisa, penangkapan wanita penggiat seni tari Jawa yang populer itu adalah kambing hitam atas kekalahan Perancis dalam peperangan. Meskipun tak ada bukti nyata bahwa Mata Hari bersalah menjadi agen intelijen ia tetap dianggap bersalah dan dieksekusi di hadapan regu tembak pada usia 41.

Kisah Mata Hari adalah sebuah ironi. Kelembutan dan kecantikan perempuan bisa menjadi kambing hitam kecemburuan kaum lelaki. Namun di balik itu semua, sejatinya hidup adalah sebuah pilihan. Dan saat seseorang telah memilih, maka di situ dia telah menetapkan takdirnya. Seseorang harus menanggung resiko baik dan buruk. Termasuk dengan cara apa dan bagaimana dia memilih kematian. Semuanya harus diterima dengan pasrah dan lapang dada sebagai bentuk dharma bakti pada kehidupan dan kepada Tuhan Yang Maha Suci.

Kepada bunda Mata Hari yang kini telah berada di sisi-Nya, kau adalah pelajaran yang berharga bagi kehidupan kami; yang kini masih menjadi aktor di panggung sandiwara.***

BERAPA UMUR TUHAN?

M. Wildan

TUHAN itu adanya bersifat awal dan akhir, artinya Tuhan tidak memiliki usia sebagaimana manusia yang memiliki batasan waktu tertentu untuk hidup. Dalam kitab suci juga disebutkan bahwa Tuhan itu Cahaya Maha Cahaya. Apa ini artinya? Marilah kita telaah dengan kacamata sains modern.

Ada satu zat di dunia ini, yang sudah ada semenjak alam semesta lahir, tapi tidak pernah merayakan hari kelahirannya alias tak berumur. Itulah foton, atau partikel cahaya. Tapi, bagaimana mungkin? Mari kita telaah dengan teori relativitas khusus Einstein. Begitu mendengar teori relativitas khusus, ingatan kita spontan menuju konstanta kecepatan cahaya, kecepatan tercepat yang ada di jagad raya ini. Relativitas khusus mengatakan, ruang dan waktu, oleh Newtonian dianggap terpisah dan bernilai absolut, menyesuaikan diri mereka demi menjaga konstanitas kecepatan cahaya yang bernilai 3×108 meter/detik tersebut.

Dengan kata lain, dimensi waktu akan melambat atau mencepat, dan dimensi ruang akan memanjang atau memendek, sehingga kecepatan foton selalu bernilai sama. Konsep ini disimpulkan dengan satu kalimat, “Benda bergerak akan merasakan waktu melambat dan ruang memendek,”

Konsep ini tidaklah sederhana, saat Einstein mempostulatkannya pada tahun 1905. Diperlukan puluhan tahun bagi para fisikawan untuk benar-benar bisa mengerti teori tersebut. Sekarang mari kita ulangi percobaan fantasi yang pernah Einstein lakukan untuk memahami bagaimana waktu melambat dan ruang memendek.

Bagaimana waktu melambat?

Bayangkan kita memiliki dua buah jam-foton Kerja jam-foton tersebut adalah sebagai berikut: sebuah foton terperangkap dalam dua buah cermin (yang merefleksikan cahaya yang datang). Foton ini akan bergerak maju-mundur membentur dua cermin tersebut. Kedua cermin ini kita lengkapi dengan sepesial detektor yang akan berbunyi: setiap kali foton menyentuh permukaannya.

Kecepatan cahaya 3×108 meter/detik berarti cahaya akan menempuh jarak sejauh 3×108 meter dalam satu detik. Jika dua cermin tadi terpisah sejauh 30 meter (d = 30 meter), maka total foton menabrak dua cermin tersebut adalah 107 kali tik. Dengan kata lain, setiap kali detektor kita berbunyi 107 tik berarti itu sama dengan satu detik.

Satu jam-foton berdiri diam di atas Bumi, sementara yang lain kita beri kecepatan v pada sumbu-x. Foton pada jam-foton yang diam (kita sebut foton #1) harus bergerak 30 meter untuk bisa menghasilkan 1 tik. Tapi foton pada jam-foton yang bergerak (foton #2) harus begerak. Akibatnya, saat foton #1 sudah membuat 107 tik, foton #2 masih berjuang untuk menghasilkan tik yang sama. Saat foton #2 berhasil menghasilkan 107 tik, foton #1 sudah memulai perjalanan untuk menghasilkan 107 tik kedua. Artinya, benda yang bergerak akan merasakan waktu 1 detik lebih lama (waktu melambat) daripada saat dia diam.

Bagaimana ruang memendek?

Bayangkan kita punya sebuah mobil yang panjangnya diukur saat diam adalah 5 meter. Tugas kita sekarang adalah mengukur panjang mobil ini saat berjalan, sementara kita tetap diam di atas Bumi. Tentu kita tidak mengukur dengan meteran seperti yang kita lakukan saat mobil diam.

Cara yang terbaik adalah memakai stopwatch. Hidupkan stopwatch ketika ujung depan mobil menyentuh sebuah garis acuan dan matikan saat ujung belakangnya melewati garis itu. Jika kita bisa melakukan dengan akurat, maka waktu yang ditunjukkan stopwatch (t) berbanding lurus dengan panjang mobil (L), yaitu L = v*t, dengan v adalah kecepatan mobil tersebut.

Panjang mobil saat jalan bisa didapat dengan mudah karena kita punya data v dan t. Kalau percobaan itu dilakukan beberapa kali dengan meningkatkan kecepatan mobil, akan diperoleh hasil, semakin cepat pergerakan mobil maka semakin pendek panjang mobil. Kenapa demikian?

Dengan pemahaman waktu melambat di atas, hal ini lebih mudah dimengerti. Mobil yang berjalan akan mengalami perlambatan waktu. Semakin cepat dia bergerak, semakin lambat waktu yang dia rasakan, sehingga waktu yang diukur stopwatch semakin kecil. Dengan demikian, sesuai dengan L = v*t, panjang mobilpun semakin memendek.

Pergerakan dalam 4-Dimensi

Sejauh ini kesimpulan dari percobaan fantasi kita adalah semakin cepat benda bergerak, semakin melambat waktunya, dan semakin memendek ruangnya. Sekarang kita kembangkan kesimpulan itu untuk masuk dalam konsep ruang-waktu teori relativitas khusus.

Kita hidup dalam 4-dimensi, 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu. Keempat dimensi ini dibutuhkan untuk memberikan koordinat lengkap sebuah objek di alam semesta ini. Misalnya saat menggambarkan keberadaan seseorang di Lantai 4 Sebuah Gedung Bertingkat (untuk menggambarkan 3 dimensi ruang), kita masih harus menyatakan pada pukul berapa orang itu ada di sana.

Sebuah objek sebenarnya bergerak di 4 dimensi ini. Sebuah mobil yang diam, tetap bergerak di dimensi waktu. Saat mobil ini dijalankan, maka pergerakannya di dimensi waktu ;harus dibagi dengan pergerakan di dimensi
ruang. Sehingga pergerakan di dimensi waktu berkurang: waktu melambat karena pergerakan benda di dimensi ruang, persis seperti yang kita buktikan percobaan jam-foton.

Logika tersebut mengantarkan kita pada pemikiran, untuk mencapai pergerakan maksimum di dimensi ruang maka pergerakan di dimensi waktu harus nol. Pada kondisi inilah kecepatan benda menempuh dimensi ruang bisa maksimal. Dan sesuai dengan teori relativitas khusus, bahwa kecepatan maksimal adalah kecepatan cahaya, segera kita sadari bahwa cahaya sama sekali tidak bergerak pada dimensi waktu. Dengan kata lain, foton tidak berumur. Foton yang dihasilkan semenjak alam semesta terbentuk sampai sekarang umurnya sama!

Bisa melewati kecepatan cahaya?

Ini terkait dengan salah satu formula teori relativitas khusus yang sangat terkenal: E=mc2, di mana E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah konstanta kecepatan cahaya. Formula tersebut menjelaskan relasi langsung antara energi-massa (konservasi energi-massa). Sebuah objek dengan massa m bisa menghasilkan energi E sebesar mc2; dan karena c sebuah konstanta yang besar, massa yang kecil tetap akan menghasilkan energi yang besar.

Bayangkan, Hiroshima tahun 1945 hancur akibat energi yang dihasilkan dari 2 pounds Uranium. Di sisi lain, formula ini memainkan peranan penting dalam pergerakan objek dalam 4-dimensi. Benda yang bergerak memiliki energi kinetik, semakin tinggi kecepatannya semakin besar energinya.

Saat kita paksa partikel muon mencapai kecepatan 99,9 kecepatan cahaya, muon memiliki energi yang besar. Karena konservasi energi-massa, energi tadi meningkatkan massa muon 22 kali lebih massif daripada massa-diamnya (0.11 MeV). Tentu saja semakin masif (pejal) benda, semakin susah untuk bergerak cepat. Ketika kecepatannya dinaikkan menjadi 99,999 kecepatan cahaya, massanya bertambah 70.000 kali! Muon semakin masif dan semakin cenderung untuk tidak bergerak. Sehingga dibutuhkan energi yang tak berhingga untuk melewati kecepatan cahaya; jumlah energi yang tidak mungkin bagi sesuatupun yang ada di alam semesta ini: KECUALI JUMLAH ENERGI  TUHAN.

KESIMPULAN:
Tuhan bukanlah cahaya. Dia adalah CAHAYA MAHA CAHAYA. Bila partikel cahaya/foton adalah sesuatu di dunia ini yang sudah ada semenjak alam semesta lahir dan tidak mengenal usia, maka TUHAN adalah DZAT YANG MAHA TIDAK MEMILIKI USIA (UMUR).  Sama seperti foton, meskipun dimensi waktu akan melambat atau mencepat, dan dimensi ruang akan memanjang atau memendek, sehingga kecepatan partikel cahaya/foton ini selalu bernilai sama sehingga TUHAN TIDAK MENGENAL TEMPAT JAUH ATAU DEKAT. Bahkan TUHAN LEBIH DEKAT DARI RASA DEKAT. DIA BEBAS DARI BATASAN WAKTU DAN RUANG.

Dengan memakai cara berpikir/logika ILMU FISIKA saja TUHAN sudah bisa dinalar KEBERADAANNYA. Ini tentunya semakin melengkapi dan memperluas kajian agama-agama yang memberi jawaban eksak tentang keberadaan Tuhan.

TUHAN TIDAK BERTANGGUNG JAWAB PADA KEDAMAIAN BUMI

M. Wildan

Kasus penembakan keji Nasrudin Zulkarnain, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, beberapa waktu lalu yang menyeret Ketua KPK Antasari Azhar ke penjara, telah mengejutkan kita semua. Bagaimana cara-cara kekerasan semakin mendarah daging untuk memecahkan masalah antar individu di tanah air di semua kalangan, baik kalangan elite maupun kalangan sandal jepit. Semakin jauhlah kita dari kata damai karena masih ada ketidakadilan dan penindasan Hak Asasi Manusia……

“If there is some corner of the world which has remained peaceful, but with a peace based on injustices-the peace of a swamp with rotten matter fermenting in its depths-we may be sure that peace is false” (Spiral of Violence, Helder Camara)

Helder Camara, adalah pejuang anti kekerasan. Dia mengungkapkan meski tidak ada perang, namun bila ketidakadilan dan penindasan merajalela, itu bukan damai sejati. Keadaan itu digambarkan sebagai air rawa yang permukaannya tenang, namun di bawahnya menyimpan barang busuk. Tidak bisa kita pungkiri bahwa saat ini suasana damai menjadi harga yang mahal. Sebab damai sejati membutuhkan situasi yang bebas dari ketidakadilan yang masih terjadi di mana-mana dan penindasan yang menghampiri kita dalam hidup sehari-hari.

Adalah Nabi Isa AS, nabi pejuang yang luar biasa menegakkan kedamaian tanpa cara kekerasan. Jauh sebelum Gandhi lahir, dia sudah menjadi tonggak sejarah untuk menegakkan bagaimana manusia bisa berjuang menegakkan kedamaian tanpa harus berdarah-darah untuk menghapus ketidakadilan.

Isa putera Maryam, lahir semasa Kaisar Agustus memerintah yang terkenal dengan kebijakan politik Pax Romana. Kaisar ambisius itu melakukan ekspansi besar-besaran dan agresi militer ke Timur dan Barat sehingga saat meninggal, daerah kekuasaannya seluas 3.340.000 mil persegi atau lebih luas dari Amerika Serikat. Karena penaklukannya itu, memang tidak ada perang selama 200 tahun. Kemakmuran, ketertiban, dan stabilitas nasional yang begitu lama belum ada tandingannya dalam sejarah.

Namun, keadaan damai itu tidak ditopang moralitas elite politik dan keadilan bagi kaum tertindas. Akhirnya Pax Romana rapuh, digerogoti dari dalam, dan bubar sendiri. Demikian dalam kata- kata sejarawan Will Durant . Damai tetapi gersang adalah kata lain untuk damai di atas imoralitas, penindasan, dan eksploitasi.

Epictetus, seorang filsuf Stoa, melukiskan Pax Romana: “Meski kaisar bisa memberikan damai tanpa perang di darat dan di laut, ia tidak mampu memberikan damai tanpa hawa nafsu, dukacita, dan rasa iri. Ia tidak mampu memberikan damai di hati. Yang dirindukan manusia lebih daripada damai secara lahiriah.” Damai adalah dambaan manusia kapan dan di mana pun. Damai adalah situasi di mana manusia mampu mengendalikan hawa nafsu yang berkobar-kobar. Karenanya, manusia harus menegakkan akal sehat.

Itulah Makna Idul Fitri, yaitu setelah manusia digembleng untuk mampu mengendalikan hawa nafsu dan oleh karenanya dia kembali di jalan yang benar. Dalam konteks menegakkan kedamaian ala Pax Romana, kata Durant, dibangun di atas ambisi dan kejahatan politik, oligarki untuk kepentingan sendiri atau kelompok, korupsi, kekerasan, eksploitasi, agama yang tidak berpihak pada kemanusiaan.

Nah, yang jadi pertanyaan bagaimana dengan kedamaian yang harus diciptakan dengan semena-mena? Misalnya mengembuskan isu axis of evil, menjalankan politik agresif atas Irak, dan tetap menutup mata atas ketidakadilan di Timur Tengah seperti yang dijalankan oleh Amerika Serikat? Di tanah air, agaknya, kedamaian masih menjadi barang yang mahal. Eskalasi kekerasan horizontal di dalam aras warga sipil semakin meningkat meskipun rezim Orde Baru sudah runtuh dan militer sudah terdepolitisasi. Teror bom menjadi gejala anarki sosial yang semakin biasa. Tinggal menunggu waktu lagi kapan bom-bom meledak setelah bom Bali, Makassar dan seterusnya.

Kekhusyukan umat beragama untuk merayakan hari-hari besar agama terganggu karena ancaman ledakan-ledakan bom. Korban jiwa, luka, dan cacat seumur hidup tidak dapat diganti dengan materi. Kerugian materi juga tak terhitung banyaknya. Semua itu menyisakan tanda tanya.

Pasti ada masalah serius dengan etika hidup bersama dari bangsa yang sedang menjalani masa peralihan. Dulu terkungkung, kini relatif bebas. Namun kebebasan itu belum membebaskan bangsa ini dari teror kekerasan. Sebagian kita belum menghayati makna kehadiran sesama sebagai subyek yang harus dihormati, sebab menjadikan sesama sebagai korban kekerasan hanya menurunkan derajatnya menjadi obyek.

Gabriel Marcel (1889-1973), filsuf eksistensialis Perancis, memandang amat penting penghayatan kehadiran sesama (présence) sebagai jalan menghayati kehadiran Ada. Intersubyektivitas menjadi inti filsafat Marcel guna menghayati misteri Ada di mana TUHAN adalah ADA DARI SEGALA ADA. Segala klaim yang mengatasnamakan agama atau TUHAN menjadi kosong saat kehadiran sesama yang kasatmata itu direduksi menjadi obyek.

Bagi Marcel, ESSE adalah CO ESSE. Kehadiran TUHAN, MANUSIA dan ALAM harus menjadi obyek cinta dan segala bentuk tindakan yang positif. Bila tidak, cepat atau lambat sesama akan direduksi menjadi obyek yang pada gilirannya mudah DIMANIPULASI menjadi sasaran kekerasan, diskriminasi SARA, diskriminasi jender, pelecehan seksual.

Kemunduran etika hidup bersama menggejala ketika sesama hanya dipandang dan diperlakukan sebagai obyek belaka. Perjumpaan antarpribadi yang menyapa dan mengasihi sesama sesuai martabatnya (RENCONTRE) tidak terjadi. Sebaliknya, dengan bahasa kekerasan seseorang menempatkan diri sebagai pelakunya dan orang lain sebagai korban.

Setelah selama beberapa tahun terakhir ini konflik di Indonesia dalam ekskalasi yang besar sebenarnya sudah menurun. Terakhir di Aceh yang menewaskan lebih dari 4.000 orang. Kita semua patut bersyukur atas Kesepakatan Penghentian Permusuhan itu. Momentum kesepakatan damai itu akhirnya ditindaklanjuti dengan kebijakan politik proeksistensi. Hak-hak politik mantan anggota atau petinggi GAM harus dipulihkan dan mereka dilibatkan secara aktif dalam pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Kesepakatan damai harus segera diisi keadilan sosial sebab pada dasarnya konflik di daerah adalah tidak lain buah kekecewaan daerah terhadap ketidakadilan pemerintah pusat. Kalau tidak, seperti kata Helder Camara di atas, keadilan yang didasarkan pada ketidakadilan akan berbuah REKONSILIASI PALSU. Keadilan merupakan prasyarat mutlak damai sejati. Harus diakui, agresivitas masyarakat sipil di Tanah Air sebagian dikarenakan keadilan yang jauh dari adil. Adil untuk satu pihak, tetapi amat tidak adil untuk pihak lain.

Bila damai di Aceh bisa terwujud, harus diteruskan dengan damai di Papua, Poso, Ambon, Kalbar, Kalteng, dan di tempat-tempat lain. Damai di seluruh Tanah Air seharusnya bukan utopia Mencermati berbagai tragedi kemanusiaan jujur harus diakui, kita semua gagal mempromosikan etika proeksistensi. Tidak hanya pemerintah yang bertanggungjawab melainkan kita semua. Eskalasi kekerasan ini merupakan cermin merosotnya etika kehidupan berbangsa rakyat Indonesia. Ini tanggung jawab kita semua. MAKA, KEDAMAIAN BUKAN TANGGUNGJAWAB TUHAN SANG PENCIPTA ALAM SEMESTA!

SALAM DAMAI SELALU DAN PANTA RHEI…

SAAT ELMAUT MENOLAK TAWARAN DRAW SOEHARTO

Edy Haryadi (NIM: 75421)

Soeharto sekaratDiktaktor yang pernah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, Soeharto, 87 tahun, Minggu siang, akhirnya menyerah pada elmaut. Senin siang, 27 Januari 2008, Soeharto dimakamkan di Astana Giribangun, Solo.

Selama berpekan-pekan, jendral bintang lima ini telah mencoba mengulur waktu dengan maut. Bila diibaratkan permainan catur, Soeharto ingin bermain draw atau remis dengan elmaut.

Sejak dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, awal Januari 2008, Soeharto memang telah menolak mati. Berbagai aspek mistik dan ilmu kanuragan ia kerahkan untuk menahan laju kematian meski secara klinis ia sebenarnya sudah mati.

Selama berminggu-minggu, jutaan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia Soeharto, menyaksikan dengan rasa was-was. Ya, otak pembunuhan massal 500.000–1.000.000 warga sipil tahun 1965, pembantaian aktivis masjid di Tanjung Priok 1986, hingga penculikan aktivis mahasiswa tahun 1998 ini, memang tengah mencoba berdamai dengan sakaratul maut.

Sayang, malaikat pencabut nyawa tak bisa disuap. Akhirnya, otak penculikan aktivis mahasiswa tahun 1998 ini menutup mata. Itupun setelah berpekan-pekan rakyat Indonesia menyaksikan dengan rasa iba sekaratnya Soeharto.

Seorang ibu dua anak di kawasan Tebet, Dhini (43), sejak awal menyebut sekaratnya Soeharto merupakan pelajaran bagi yang hidup. Sejak dua pekan lalu Dhini memang sudah mengambil kesimpulan Soeharto secara klinis sudah mati. Namun, penolakannya pada elmaut, telah membuat ia sekarat hingga tiga pekan.

Menurut Dhini, pesan Tuhan melalui filsafat malaikat maut untuk mempertontonkan sekaratnya Soeharto ke rakyat Indonesia hingga tiga pekan lebih, amat jelas dan terang benderang. Dengan membuat Soeharto tersiksa selama tiga pekan, ini merupakan momentum bagi Tuhan untuk memperingatkan manusia Indonesia agar berhenti korupsi dan berhenti menindas.

Ibarat permainan catur, Soeharto memang sudah mencoba meminta draw dengan elmaut. Sayang, tawaran itu ditolak mentah-mentah. Setelah mempermalukan dan menyiksa Soeharto melalui permainan panjang penuh penderitaan, sang elmaut melancarkan jurus pamungkasnya: skak mat!

Dan, Soeharto pun menyerah…

MENGENANG PROF DR DAMADRJATI SUPADJAR

PROF DR DAMARDJATI SUPADJAR TELAH DIPANGGIL TUHAN YME  DI RUMAHNYA DI SAREN, GENTAN SARIHARJO, NGAGLIK, SLEMAN, PADA SENIN 17 FEBRUARI 2014 SILAM DAN DIKEBUMIKAN DI TANAH KELAHIRANNYA di  LOSARI, GRABAG, MAGELANG  KEESOKAN HARINYA. INI SEDIKIT KENANGAN YANG SEMPAT KAMI KUMPULKAN TENTANG SOSOK BELIAU….

M. Wildan

damardjati-supadjarYogyakarta  tahun 1990. Kesaksian samar-samar ini bermula dalam sebuah ruangan bersekat triplek ukuran kecil yang dilabur dengan apu. Ruangan ini dipergunakan untuk salat para mahasiswa di belakang kampus. Saat itu saya hadir saat untuk menjalani masa Ospek, atau masa perkenalan sebagai mahasiswa baru di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

Di ruangan tersebut, kami dikumpulkan untuk mendengarkan ceramah dari Prof Dr Damardjati Supadjar. Pak Damar –begitu kami para mahasiswa biasa menyebut— menyampaikan tema tentang pentingnya menuntut ilmu. “Pencari ilmu itu seperti detektif yang menyelidiki sebuah fakta, gejala, peristiwa lalu menyampaikan hipotesa, menguji dan akhirnya menemukan hubungan antar fakta sehingga kemudian bisa mengambil kesimpulan,” katanya. Ini adalah salah satu bahasan dari sekian gagasan yang disampaikan oleh Pak Damar saat itu.

Pak Damar menyampaikan dengan bahasa yang bagi kami semua mungkin hanya bisa meraba-raba maknanya secara sepotong-sepotong. Tidak seluruhnya bisa kami pahami karena keterbatasan pengetahuan kami. Namun sebagai pengantar untuk belajar tentang ilmu kebijaksanaan, uraian Pak Damar saat itu cukup inspiratif dan mampu menggugah semangat kami untuk bertempur memasuki rimba belantara filsafat yang rimbun dan berseluk beluk.

Perawakannya cenderung jangkung, tidak tegap, tidak gagah. Matanya cenderung sipit, sorotnya lembut. Menandakan dia bukan sosok yang perlu ditakuti, dipuja dan mengagung-agungkan KEAKUAN-nya. Bila berjalan cerderung menunduk dan tidak segan-segan mengangguk ramah bila kebetulan berpapasan dengan orang lain. Gaya bicaranya lucu, kocak, cerdas, suka berkelakar, inspiratif dan jauh dari kesan angkuh.

Sosok yang santun ini kemudian dikenal publik sebagai penasehat spiritual Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, penceramah di berbagai forum, budayawan, narasumber diskusi majlis taklim keagamaan, guru besar UGM, penulis dan nara sumber di radio maupun koran. Wali kesepuluh di Jawa —kata Budayawan Emha Ainun Nadjib.

Pak Damar tinggal di Dusun Randujayan, Pakem, Sleman dekat lereng gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumahnya mungil dan sangat sederhana. Pemandangannya indah dan hijau. Di sebelah rumahnya, berdiri semacam rumah gebyok sederhana berdinding bambu. Ini adalah tempat para mahasiswa berjualan Tahu Telupat asal Magelang.

Konon, Pak Damar sengaja mendirikan usaha ini agar para mahasiswa bisa mencari uang untuk menghidupi kuliahnya tanpa tergantung oleh orang tua. Untuk mobilitasnya sehari-hari, setelah Pak Damar memiliki kecukupan rezeki, dia memakai mobil kesukaannya: FIAT BALITA. “Bawah lima juta” katanya berseloroh.

Dulu sebelum dia pindah ke Randujayan, dia menempati sebuah rumah lawas di Jalan Kaliurang, sekitar dua kilometer dari kampus. Ruang tamunya sederhana, ada satu-dua buku Jawa lama yang menumpuk tidak beraturan. Di sebelah kursi tamu yang tampak kusam, teronggok sebuah sepeda motor vespa biru yang renta dimakan usia. Di pekarangan depan rumah yang di sana-sini temboknya sudah mengelupas, tampak seonggok pasir dan anak Pak Damar kerap bermain-main menghabiskan waktu di sini. Isteri Pak Damar selalu menyambut kami dengan hangat. Menyuguhkan teh dan makanan kecil. Perempuan ini tampak biasa sekali. Tidak seperti para perempuan glamor yang berlimpah harta. Sebuah keluarga yang sangat bersahaja dan biasa-biasa saja.

Damardjati kecil lahir di lereng utara Gunung Merbabu, tepatnya di desa paling utara Kabupaten Magelang sekitar tahun 1941. Di wilayah itu ada beberapa desa yang namanya ada kata “Sari”, yaitu Banjar Sari, Losari dan Nawangsari. Di Desa Nawangsari inilah Pak Damar sering menyertai sang ayah untuk nyekar ke makam seseorang yang dipercayai sebagai prajurit Diponegoro dari kesatuan Wirapati. Makam itu berada di sebuah perbukitan kecil. “Saya bisa melihat hal-hal yang jauh, menerawang ke masa-masa yang silam di sela-sela kisah kepahlawanan yang telah lalu. Untuk menjangkau ke depan sesuai dengan apa yang dijangka oleh orang-orang tua,” tulis Pak Damar dalam bukunya NAWANGSARI.

Sebelum menjadi dosen, Pak Damar adalah seorang sopir colt yang biasa menarik penumpang dari Sleman ke kampus pulang balik. Mungkin masa-masa yang cukup sulit ini dilaluinya sambil nyambi kuliah di Fakultas Filsafat. Ya, Pak Damar adalah mahasiswa pertama di fakultas yang terletak di sisi paling timur Kampus Bulaksumur tersebut. Entah bagaimana awalnya, Pak Damar kemudian menjadi dosen.

Di Fakultas Filsafat, Pak Damar adalah salah satu dosen Jurusan Filsafat Timur. Selain dosen, dia juga pernah menjadi Ketua Jurusan, hingga berlanjut sampai mendapatkan gelar guru besar (Profesor). Spesialisasinya mengajar mata kuliah Filsafat Ketuhanan. Nah, karena mengajar Filsafat Ketuhanan, maka pada kesempatan kali ini kami ingin memaparkan sekelumit pandangan beliau yang pernah kami dengar saat mengikuti mata kuliah yang cukup berat tersebut.

Kebetulan saya adalah salah satu dari beberapa mahasiswa yang dosen pembimbingnya adalah Pak Damar. Di fakultas kami, dosen pembimbing juga berperan juga sebagai orang tua yang membimbing laku spiritual kami. Mungkin agar kami tidak salah arah, kesasar dan akhirnya menjadi kurang waras alias gila. Dan meskipun akhirnya saya mengambil jurusan Filsafat Barat dengan fokus pada Filsafat Idealisme, namun sampai akhir studi kekaguman saya pada sosok inspiratif ini tidak pudar.

Menurut Pak Damar, tujuan belajar filsafat adalah untuk NAWANGSARI. Yang artinya menjaring dan menyaring segala pandangan sampai kepada sari-sari esensi, yaitu hal-hal yang hakiki, yang sedalam-dalamnya, sepenuh-penuhnya. Proses manusia untuk menemukan esensi tersebut tentu terus berproses hingga akhir hayat. Penghayatan itu hendaknya sampai kepada hal-hal yang mencakup dimensi spasial (lahir-batin) dan temporal (awal-akhir).

Sebab, lanjut Pak Damar, badanku di dunia namun ruhku di tangan-Nya. Seperti sabda Nabi: Perkataanku itu syariat, perbuatanku itu tarekat, hatiku itu hakekat. Kelanjutannya adalah: RUH-ku itu makrifat. Mengapa Muhammad SAW itu Nabi besar? Karena Muhammad itu bukan hanya nama diri, akan tetapi juga kualitas pribadi, yakni yang terpuji karena selalu memuji Allah. Sari sari segala sesuatu itu ialah puja dan puji untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam. Enaknya makanan itu lahiriah. Batiniah atau sarinya ialah La haula wa la quwwata ila bil-Lah.

Manusia, menurut Pak Damar, karena welttoffen (keterbukaan umwelt—dunia) selalu ingin mengetahui atau mempelajari segala persoalan, menjawabnya satu persatu, mengoreksi kesalahan-kesalahan, menanyakan kembali jawaban yang semula seolah-olah sudah final tentang Tuhan, manusia dan lainnya. Sehingga lahirlah theologia (ilmu ketuhanan dalam rangka agama), theodicea (ilmu ketuhanan dalam rangka filsafat), serta theosofi (sebagai organisasi spiritual).

“Nama theofani yaitu pengejawantahan Ilahi/tajalli secara langsung ternyata berlaku secara khusus bagi para nabi dan rasul-Nya. Semuanya secara sinkronik diakronik mewartakan risalah tauhid: La ilaha ilal-Lah,” katanya. Secara tidak langsung, kata Pak Damar, kita juga menangkap pewartaan Ilahi itu pada tata tertib alam, hukum-hukum alam, sebagai ayat-ayat-NYA yang obyektif menjadi percikan dari rahasia takdir-Nya dan ilmu pasti di sisi-Nya.

Oleh sebab itu, untuk mengenal Tuhan paling pas adalah menggunakan pendekatan relijius Islami, Qurani, juga filsafati sehingga terkandung kemungkinan untuk tidak berhenti pada tingkat verbalis/kognitif, melainkan berlanjut kepada tingkatan psikomotor sebagai sebuah konspirasi total. La ilaha ilal-Lah. Kalimat pernyataan LA ILAHA ILAL-LAH adalah tesis akbar, terbesar sepanjang masa, menyeru sekalian alam, rumus abadi, proklamasi kemerdekaan.

Menurut Pak Damar, kalimat ini bobot kualitatifnya melebihi seluruh petala langit dan bumi. Rumusan LA ILAHA ILAL-LAH ini dapat dibedakan menjadi dua. Sebagian yang menegasikan/menidakkan (nafi LA ILAHA) dan sebagian lagi mengafirmasikan/mengiyakan (isbat: ILA-LAH). Arti populernya: TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH. Tidak ada segala yang ada ini yang pantas disembah selain ALLAH.

Secara singkat, kita hanya akan membatasi diri pada tiga sistem, yaitu SISTEM KEBERADAAN (BEING/ORDO ESSENDI), SISTEM NILAI/ KUALITAS (HAVING/ ORDO COGNOSCENDI), dan SISTEM KERJA (BEHAVING/ORDO FIENDI), yang kesemuanya itu dicakup oleh NIAT KETAKWAAN (ORDO AGENDI). Artinya, sesungguhnya YANG BEKERJA, YANG HIDUP, YANG ADA itu semata-mata karena ALLAHU AKBAR. Allah bersumpah untuk itu dalam kita suci bahwa: KEBERADAAN, NILAI, KEHIDUPAN DI LUAR itu adalah MAIN-MAIN/PERMAINAN yang akan tampak sebagai fatamorgana. “Harus bisa membedakan dengan jelas antara kesungguhan Allah dengan ciptaan-Nya, dengan kehidupan manusia yang bermain-main,” ujar Pak Damar.

Maka langkah yang perlu kita lakukan adalah penyucian diri dari segala praduga, anggapan yang keliru, paham yang salah yang merupakan kesalahan besar di pelupuk mata —fallacy of misplaced concreteness— mengutip A.N. Whitehead, Bapak Filsafat Proses.

Menurut Pak Damar, pendekatan matematis merupakan latihan yang baik untuk mengoreksi kesalahan tersebut, dengan menjawab pertanyaan misalnya: “Titik itu ada, apa tidak?” “Titik sesungguhnya tidak ada, kecuali dalam rangka garis. Artinya adanya titik itu bergantung pada adanya garis. Pada garis dapat ditampung titik yang jumlahnya tidak terhingga, dan seterusnya,”  ujarnya. Hubungan antara titik dan garis, pararel dengan hubungan antara garis terhadap bidang, bidang terhadap ruang, jadi hubungan antar dimensional. Kita akan mendapat petunjuk bahwa SEMESTA TIGA DIMENSI ini adanya bergantung pada REALITAS BERDIMENSI EMPAT, demikian seterusnya…..

Hubungan antara dunia dan akhirat, hubungan antara lahir dan batin, semestinya dipandang sebagai hubungan partialitas terhadap totalitasnya secara antar dimensional/transendental. Sebaliknya, yang superlatif mematerikan pesan imperatif kepada realitas di bawahnya, sebagai sesuatu yang imanen.

Nah, bagamiana kedudukan manusia? “Sungguh luar biasa, kata Pak Damar, karena MAN IS THE MEETING POINT OF VARIOUS STAGES OF REALITY. Manusia adalah titik temu dari beragam tingkat realitas. Ya, realitas itu bertingkat, kesadaran itu bertingkat, abstraksi juga bertingkat,” ujarnya.

Sebagai penutup, Pak Damar, mengakui ketidakmampuannya untuk menyimpulkan apa itu LA ILAHA ILAL-LAH. Sebab, “KALIMAT INI ADALAH KESIMPULAN DARI KESIMPULAN. Sesuatu hal yang memungkinkan kita membuat tali simpul baik yang berkekuatan tiada berhingga, sebagai THE DYNAMIC OF INNER STABILITY” katanya.

Maka, imbuh Pak Damar, Terbuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencapai hal itu, baik secara desentratif ataupun konsentratif, sambil menjaga kesadaran bergelombang alpha rythmic, meningkatkan diri bertutut-turut melalui pernyataan “LA HAULA WALA QUWWATA ILA BIL-LAH, INNA LIL-LAHI WA INNA ILAIHI RAJI’UN, LA ILAHA ILAL-LAH”

DUA

AGAR SEMAKIN JELAS TENTANG SOSOK  PROF DR DAMARDJATI SUPADJAR, MARILAH KITA TELUSURI SECARA LEBIH MENDALAM APA DAN SIAPA DIA. PAK DAMAR—BEGITU KAMI MEMANGGIL– SERING MENGUTIP PERNYATAAN FILSUF DARI AMERIKA SERIKAT, ALFRED NORTH WHITEHEAD. TERNYATA, DISERTASI S-3 PAK DAMAR ADALAH TENTANG PEMIKIRAN-PEMIKIRAN WHITEHEAD.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan salah satu hal yang sering dikutip Pak Damar tentang titik. Kata Whitehead, Tuhan bisa dinalar misalnya dengan mengandaikan adanya titik bergantung pada garis, garis pada bidang, bidang pada ruang dan seterusnya.

Alfred North Whitehead berkata, bahwa 2000 tahun yang akan datang, kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh ilmu pasti yang akhirnya semoga saja bisa semakin mengenal tentang Tuhan. Dari pemikiran Whitehead, kita bisa mendapatkan penjelasan tentang Tuhan dari yang hanya sekedar mistik menjadi lebih rasional.

Dalam kehidupan ini menurut Alfred, ada dua kutub yang saling berhubungan antara yang satu dan yang lainnya. Yaitu kutub nilai dan kutub fakta.

Kutub nilai adalah sesuatu yang selalu aktual tetapi tidak mengalami pemudaran dan tidak mengalami masa lampau. Dia sifatnya abadi. Sedangkan kutub fakta adalah sesuatu yang mengalami aktual dan mengalami pemudaran. Dia sifatnya tidak abadi, berarti dia mengalami masa lampau.

Disinilah yang oleh Whitehead disebut sebagai becoming and perishing (menjadi dan memudar). Kutub nilai antara lain indah, benar, baik dan lain-lain. Dialah yang selalu aktual dan tidak akan memudar sampai kapanpun. Nilai berada dalam batin.

Sedangkan segala yang tergelar didunia ini adalah fakta (lahir). Karena sifatnya yang lahir itulah dia mengalami aktual dan pemudaran. Kita mengambil contoh tipe-tipe merek sepeda motor, misalnya Honda. Pada zamannya Astrea 800 adalah merek yang aktual dan indah. Tetapi setelah dibuatnya merek Astrea Prima, Astrea 800 menjadi sesuatu yang lampau dan tidak lagi aktual. Demikian pula setelah merek Astrea Grand keluar, maka merek Astrea Prima menjadi barang yang lampau dan memudar. Mungkin saat zamannya Astrea Grand adalah barang dengan desain yang indah dan sempurna, tetapi tidak setelah ada merek Astrea Supra. Begitulah seterusnya.

Kita kembali ke kutub nilai dan fakta. Atau biar lebih mudah dalam pengucapan kita kembali ke lahir dan batin. Karena sifat nilai yang kekal dan abadi itulah maka pada hakekatnya manusia membutuhkan. Dan karena butuh maka manusia menyebutnya sebagai Tuhan. Coba kita sebut nama Tuhan dalam hati (maha benar, maha indah …).

Jika lahir dan batin dihubungkan maka akan terdapat sebuah garis. Dan di situlah sebuah titik berada. Dan manusia menjadi titik tengahnya. Sebagai titik yang berada di tengah maka manusia bisa memilih akan kemana arah tujuan hidupnya.

Misalnya sebagai contoh, Antara Banyuwangi (Jawa Timur/anggaplah lahir) sampai Merak (Banten/batin) adalah sebuah garis, kita anggap Yogyakarta adalah tengahnya. Dan di Yogya lah terdapat titik itu berada.

Jika manusia memilih untuk berjalan ke arah Merak (batin), maka sesungguhnya dia menuju ke sesuatu yang abadi yaitu Tuhan. Dan bila dia menuju ke arah Banyuwangi (lahir) maka dia menuju ke arah yang materialistik. Semakin dia dekat dengan Banyuwangi (lahir) maka dia semakin jauh dari Tuhan. Sampai dia sangat dekat dan sampai Banyuwangi (lahir) dia semakin jauh dari Tuhan dan semakin tidak mengenal Tuhan. Dan dari sinilah atheis bermula. “Atheis bermula dari materialisme.” Kata Whitehead.

Jadi pergerakan kita ke arah lahir, adalah pergerakan kita menjauhi Tuhan. Dan semakin kita tidak mengenal Tuhan. Dan bila yang kita pilih adalah ke arah Tuhan, agamalah yang lebih dalam mengajarkan tentang nilai-nilai (Tuhan). Pergerakan kita menjauhi Tuhan akan membuat kemurkaan Tuhan.

“Kalau seseorang awam yang membuat pernyataan mengenai tembok rumahnya, maka pada umumnya pernyataanya semata-mata lahiriah, misalnya bahwa tembok putih. Sementara sang pemborong akan membuat pernyataan yang lebih “batin”, misalnya “tembok itu anti gempa”

“Atas dasar keilmuwannya yang memahami penuh konstruksi kedalaman si tembok. Namun insinyur pengendali project memiliki “sesuatu” yang lebih “batin”, yakni semacam “kekuasaan” menetapkan bahwa suatu gedung yang anti gempa, bisa jadi tidak anti proyek dan karenanya bisa runtuh oleh suatu proyeck. Demikianlah maka Tuhan itu Maha Batin, menguasai segala, mengendalikan semua saja,” kata pak Damar

TIGA

BAGAIMANA AGAR BANGSA INDONESIA BISA BANGKIT DARI KETERPURUKAN. NAMUN SEBELUMNYA AKAN DIJELASKAN TERLEBIH DULU PERAN SRI SULTAN DI DUNIA.

Menurut Pak Damar, kenapa Yogyakarta disebut Daerah Istimewa karena peran kosmis dan universal Sultan sebagai Kalifatullah. “Gelar Sultan tak ada duanya di dunia. Gelar itu beresensi pada istimewanya hati, spiritualitas. Keistimewaan itu se-analog dengan hati. Kalau hati baik, perbuatan dan keistimewaan juga akan menjadi baik. Demikian pula bila laku atau jalannya hati-hati, hasilnya juga akan baik dan selamat”, ujarnya.

Menurut Pak Damar, Keraton adalah lambang struktur manusia dengan segala konsep kesadaran sangkan paraning dumadi, sedulur papat lima pancer, kiblat papat lima pancer jalma limpat seprapat tamat. Makna Keraton menjadi sangat penting dan melekat di hati rakyat, karena Sultan dan Keraton masih memiliki atau memenuhi kualitas seperti yang tergambarkan dalam yang sanepo itu bersifat spiritual dan bermakna sangat mendalam.

Sanepo tersebut menyiratkan sebuah kearifan seorang pemimpin dan kesadaran illahi yang tinggi. Namun, lanjut Pak Damar, konsep keratuan Raja Jawa yang spiritual itu tidak dihayati secara sungguh-sungguh. “Kualitas kita ini masih sebatas raga. Maka, masih berjalan di tempat. Kesadaran kita masih kesadaran api, yang dengan demikian adalah kesadaran iblis di mana manusia tak pernah bisa sujud. Manusia itu terlena dengan aktifitas menjumlah dan menghitung, yang sebenarnya tidak akan pernah mencapai bilangan infinitum,” katanya.

Barangsiapa hendak njongko, njangkah, ujung jangka harus lebih tajam dari sebilah jarum. Padahal, terangnya, ketajaman jarum itu masih saja tumpul bila dilihat dengan mikroskop. Maka untuk bisa benar benar tajam, harus dengan hati, yakni ning nong. Artinya heningkan hati atau rasa. Dengan begitu, baru bisa mendapatkan bilangan nol. Tajam sejatinya tajam dan seimbang. “Barangsiapa bisa membagi bilangan nol, manusia baru akan bisa mbobot (mengandung) ruh, yakni janji Illahi. Karena itu, saya menekankan pentingnya sebuah revolusi spiritual, perang Bratayudha. Perang besar antara raga dan jiwa.”

Inilah yang seharusnya dilakukan oleh kita semua agar bisa lahir di dunia secara baru. Buah dari mbobot dan meteng-nya ibu. Dua istilah yang dalam bahasa Jawa berarti hamil atau mengandung. “Mbobot dalam bahasa Jawa juga bisa diartikan sebagai bobot yang berarti berat atau beban. Misalnya ketika perawan suci Maria yang tak pernah bersentuhan dengan lelaki tiba-tiba hamil, sang malaikat memberitahu, bahwa Maria bukannya sedang mbobot dalam pengertian terbebani. Tapi, justru terangkat oleh kuasa ruh.

Ketika seorang ibu hamil, pengertiannya bukan karena dihamili. Tapi, sang ibu yang memang sedang mbobot ilmu amal suaminya. Harus dibuktikan agar bangsa Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan di berbagai bidang, Pak Damar memiliki pemahaman yang menarik. Yaitu para cendekiawan harus semakin gigih meneliti sebagai pertimbangan untuk membuat kebijakan.

“Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pahlawan, yang darahnya memang mulia, dan dengan mengingat tinta atau kalam alim-ulama itu lebih mulia. Namun bila mulianya darah syuhada pahlawan itu sudah terbukti, lebih mulianya kalam alim-ulama masih harus dibuktikan. Kiranya tidak berlebihan, bila dikatakan Indonesia berjalan di tempat,” ujarnya.

Agenda ‘pemindahan kekuasaan’ sebagaimana tersurat dalam teks proklamasi itu sedemikian dominan. Sehingga, agenda ‘dan lain-lain’ dalam teks proklamasi yang merujuk pada ranah budaya, spiritualitas, pendidikan, keadilan, kesejahteraan dan seterusnya, menjadi sekunder atau bahkan terabaikan. Padahal, semua itu terikat pada kualitas ‘kesaksamaan’ dan ‘dalam tempo sesingkat-singkatnya’.

Semua itu kata kuncinya adalah mutu, yang dalam filsafat Jawa harus berlaku bagi mereka yang sudah tua dan menimang putu atau cucu. Menurut Pak Damar, putu dalam bahasa Jawa juga disebut wayah, berkonotasi waktu. Kesemuanya itu tampak jelas pada kasus aktual di Jogjakarta, yakni wacana keistimewaan Yogyakarta yang terfokus pada kekuasaan kegubernuran.

Padahal, hakikat Keistimewaan Jogjakarta itu terutama terletak pada agenda ke-Khalifatullah-an (gelar Sultan Yogya), yang nilai rapotnya istimewa (nilai A plus atau 10). Bila Indonesia berjalan di tempat, itu karena dunia juga berjalan di tempat. Dunia berjalan di tempat pada bahasa Tongkat Nabi Musa, Kalimullah, a.s. berupa ekonomi, politik dan teknologi. Padahal, setelah bahasa makluk yakni Tongkat Nabi Musa, segera disusul oleh bahasa Khalik, yakni bahasa Ruh, yang dipersonifikasikan oleh Kanjeng Nabi Isa, Ruhullah, a.s. Dunia jauh dari memahami bahasa Ruh tersebut.

Apa lagi, bahasa terpuji, penghubung makluk dan Khalik, akhlak, Ahmad-Hamid-Mahmud-Muhammad, sikap dan cara hidup Hamemayu Hayuningrat. Maka demi keistimewaan Qolbu tubuh organik ke-Indonesia-an, kita harus menjemput bola. Bukan menunggu datangnya Isa, Ruhullah dari langit. Tapi, membobot ulang firman yang mem-badan, Jiwa Kang Kajawi.

Dalam pandangan hidup Jawa, mbobot atau menimbang janji Kawula-Gusti itu jauh berbeda konotasinya dengan meteng, yang berkonotasi main-main dengan weteng atau perut di kegelapan kesadaran peteng atau gelap, sehingga akibatnya meteng atau hamil. “Titik 0 (nol) sebagai lambang mbobot janji Kawulo-Gusti adalah inti Wuquf, yang bila paripurna segera akan diikuti oleh laku Waqaf. Justru laku waqaf itu dicontohkan oleh wanita yang mbobot, sedemikian rupa sehingga Surga itu terletak di telapak kaki ke-Ibu-an.

Indonesia yang ‘feminim’ menemukan landasan pada istilah ibu jari, ibukota, nomor induk, dan menemukan landasan formalnya pada term Ummul Kitab, yang disiplinnya disebut Ilmu Filsafat, induk segala ilmu,” katanya. Ketika filsafat lahir di Ionia Yunani, wacana mitologis terhapus oleh pencerahan akal budi. Sedemikian rupa, sehingga Atlas yang semula nama Dewa, berubah menjadi Peta.

Nah, bagaimana supaya dunia tidak berjalan di tempat dan seolah-olah hanya mengolah fakta atau membaca fakta yang di tingkat SD untuk faktor, di SLTP untuk fungsi, di SLTA dan di Perguruan Tinggi untuk olah peran, yang sebenarnya semua itu hanya peran objek penderita?

Tak lain, kata Pak Damar, “Modernisme harus berganti menjadi olah peran sebagai subjek pelaku. Koreksi makmum atas kesalahan Imam, yakni ungkapan subhanallah bagi kaum pria, menjadi tepukan paha bagi wanita. Itulah Filsafat Nareswari. Bila orang laku njangka, maka ujung jangkanya harus tajam dan seimbang, yakni titik 0 (nol). Dengan demikian, luas lingkarannya tak terhingga. Setiap poin, pun menjadi syah sebagai pusat semesta. Biarkanlah rakyat tidak ke mana-mana dan tetap ada di mana-mana. Vox Dei akan terungkap melalui Vox Populi, dan berkembanglah tradisi penemuan, dan Ratu Adil bukan omong kosong atau tinggal wacana. Tapi, ada karena ditegakkan bersama.”

Untuk melengkapi tulisan terdahulu, pada kesempatan kali ini penulis ingin berbagi soal pandangan Prof Dr Damardjati Supadjar tentang tradisi tolak bala. Berbeda dengan para penceramah yang sering kita dengar di mimbar-mimbar yang lebih cenderung berpikir hitam-putih dalam memandang tradisi tolak bala, Pak Damar lebih cenderung untuk memandang persoalan dari aspek positifnya. Dia memilih menyelami kenapa masyarakat melakukan sebuah upacara tradisi dan mengambil intisari serta makna yang terkandung dari sebuah fenomena budaya tersebut.

Apalagi masyarakat Jawa terkenal dengan kegemarannya untuk mengolah perilaku serta pikirannya. Kepribadian orang Jawa itu tercermin dalam digunakannya berbagai taraf bahasa mulai Krama Inggil yang halus hingga Jawa Ngoko yang cenderung vulgar, nakal dan lucu. Kecenderungan lain orang Jawa adalah kesukaannya untuk ”otak atik gathuk”, menghubung-hubungkan sebuah fenomena atau gejala alam dengan keberuntungan, musibah, atau pertanda. Menyadari akan tipologi, karakter, kepribadian orang Jawa yang seperti itu, Pak Damar tidak serta merta menolak. Justeru dia menggunakan jurus yang sama: ”otak atik gathuk” untuk kemudian dibingkai dengan frame Agama dan disesuaikan dengan ajaran Ketauhidan.

EMPAT

SYAHDAN BEBERAPA TAHUN LALU MASYARAKAT YOGYAKARTA, TERUTAMA YANG TINGGAL DI BAGIAN SELATAN WAS-WAS. KEKHAWATIRAN MUNCUL MENYUSUL PENGUMUMAN BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA AKAN KEMUNGKINAN TERJADINYA BADAI TROPIS DI LAUT SELATAN PULAU JAWA YANG BISA MENGHANTAM YOGYAKARTA.

Pengumuman itu tak pelak membuat sebagian besar masyarakat memilih menjauhi pantai. Misalnya, di desa Kanigoro yang berada di pinggir pantai, terdapat lebih dari 210 nelayan dan 100 pedagang pergi meninggalkan pantai. Arus pengungsian warga menjauh dari pantai sangat beralasan karena banyak warga trauma menyaksikan gempa dan gelombang tsunami dan lain sebagainya.

Sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa yang gemar untuk mengadakan upacara selamatan, saat itu entah bagaimana asalnya tiba-tiba masyarakat Yogyakarta memasak sayur lodeh dua belas macam, menanam uang seratus rupiah bergambar gunungan sebagai syarat tolak bala di depan rumah dan hal-hal unik lainnya. Tidak hanya itu, masyarakat juga berebut air yang diambil dari tujuh sumber mata air untuk “keslametan”. Berita ini tersiar luas dan sangat cepat. Lalu banyak masyarakat mempraktekkannya, bahkan di kantor-kantor banyak orang memasak sayur lodeh.

Sayur lodeh adalah sayur bersantan yang terdiri dari 12 macam bahan pokok, yaitu waluh (labu) kuning, kacang panjang, terong, kluwih, daun so, kulit mlinjo, jipang, kates muda, gori, kobis, bayung dan kecambah kedelai. Sayur ini biasanya dimakan dengan bubur. Bagi kalangan penceramah agama yang hitam-putih, ini bisa jadi dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena mengurangi kemurnian akidah. Di berbagai masjid, para dai men-cap praktik tradisi ”tolak-bala” seperti itu dianggap bertentangan dengan ”kemurnian” akidah.

Sadar akan kemelut keyakinan masyarakat yang berbeda mensikapi adanya ancaman badai tropis akidah di aras publik masarakat Yogyakarta tersebut, Pak Damar turun gunung untuk menyejukkan suasana. Dia diminta menulis artikel di koran Kedaulatan Rakyat, yang dimuat tanggal 6 Februari 2005.

Menurut Pak Damar, tradisi ”tolak-bala” di atas bermakna untuk menggugah kembali semangat ke-dhiri-an, menyelami hidup, mawas diri serta mengkoreksi diri menghadapi situasi yang mutawatiri (mengkhawatirkan) masyarakat. ”Sayur lodeh sebagai makanan terkait dengan kata “madhang” (makan). “Madhang” tidak sekedar makan secara lahir, tetapi sebuah laku mencari “pepadhang” atau jalan terang kehidupan agar selamat. Sebab sekarang ini situasi masyarakat sedang “peteng” (gelap). Sehingga sayur lodeh menjadi simbol masyarakat dianjurkan untuk mencari “pepadhang”, mencari kebaikan, atau jalan terang,” tulis Pak  Damar.

Dalam kondisi yang tidak menentu, tulis Pak Damar, filosofi Jawa menganjurkan manusia untuk kembali ke alam “madhang” sayur lodeh 12 macam.

Artinya, manusia hidup dalam suatu rangkaian upaya menangkap gelar atau agenda Ilahi. Untuk menangkap gelar atau agenda Ilahi manusia harus menangkap gelagat alam, di samping menangkap gelagat sesama, masyarakat di mana ia berada. ”Angka 12, berjumlah tiga (1+2), dalam filosofi Jawa berarti upaya meraih kehidupan masyarakat yang “jinangkung-jinampangan” (dilindungi Allah yang maha kuasa). Sayur lodeh 12 macam dengan bahan utama waluh (dari kata uwal-luh) kuning berarti “uwal” (lepas), dari ‘luh’ (air mata); maksudnya membebaskan manusia dari tetes air mata, peluh atau penderitaan. Santan sayur kelapa hijau biasa digunakan oleh masyarakat tradisional untuk penawar racun. Santan dalam sayur ini juga menjadi simbol penawar racun duniawi. Kemewahan dunia tidak disadari oleh masyarakat telah menjadi racun.” tulis Pak Damar. ***

SEJARAH ALUMNI: TESTIMONI NEZAR PATRIA

PEMUATAN KEMBALI ARTIKEL INI DIMAKSUDKAN UNTUK MENGINGAT KEMBALI SALAH SATU SEPAK TERJANG ALUMNI FILSAFAT UGM ANGKATAN 90, ENTAH APAKAH ADA JASANYA UNTUK INDONESIA ATAU TIDAK, KAMI TIDAK PEDULI… SEBAB KAMI BERGERAK BUKAN UNTUK MENCARI TANDA JASA. KAMI BERGERAK SESUAI HATI NURANI KAMI.. (redaksi)

nezar1Saya Nezar Patria. Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996. Keterlibatan saya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.

Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.

1 . Tamu tak dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun Klender. Kami adalah penghuni baru di sana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai “dalang” peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila –justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan– namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.

Pada 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel). Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.

Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa. Jawabannya adalah sebuah bentakan “Jangan banyak tanya, mari ikut kami!”. Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga saya. Saya mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa naik ke dalamnya.

Di dalam mobil, mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan. Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya, seseorang menyela “Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!”. Tak ada percakapan lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Saya berdoa dan berdzikir.Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio. Terdengar tanda panggil “Merpati, Merpati!” Namun saya tak mendengar balasannya. Kelihatannya mereka telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan.

2 . Suara sepatu lars yang berderap-derap
Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi. Saya merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang di seberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras “Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi Arief. Katakan segera di mana dia sekarang!”. Saya menjawab, tidak tahu persis di mana Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu mereka segera menghajar saya. “Bangsat, pembohong!” kata salah seorang. Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak “Allahu akbar!” sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisnya saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.

Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati. Namun PRD atau SMID tak pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.

Samar-samar saya mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.

Kemudian kami bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup. Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman aktivitas politik saya. Sepanjang malam itu sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil. Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.

Saya berpikir dan coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak pernah menyapa sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke dalam ruangan X itu. Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar kata-katanya.

Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.

Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-Timur. Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-Timur telah menjadi bumerang yang merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia maupun juga rakyat Timor-Timur. Referendum adalah jalan yang adil dan demokratis bagi Timor-Timur untuk menentukan sikap. Terjadi “diskusi” di sini antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di Timor-Timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami selama “diskusi ” tersebut.

Saya minta izin untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara sepatu lars yang sedang berderap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka teriakkan.

Setelah makan pagi, kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas, dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras “Allahu akbar” ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.

Besoknya, (tanggal 15/3/1998) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin. Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata. Dinding warna krem. Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka. Saya kembali ke ruangan semula di mana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka, dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka akan tetap mengawasi kami di mana pun kami berada, dan adalah persoalan yang gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak menyenangkan mereka.

3 . Menuju Polda Metro Jaya
Sekitar tengah hari, lalu kami dibawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5 jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan berjalan memasuki sebuah gedung. Saya merasa menaiki anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi makan. Ruangan itu cuma 2×2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang ditempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah “Koladaops 05″. Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP). Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses verbal tersebut.

Tak lama kemudian, mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang. Mobil itu membawa kami ke suatu tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan diperiksa. Setelah itu menandatangani surat penahanan dengan dugaan bahwa kami melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami ditahan dan diisolasi (1 sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan. Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.

Jakarta, 7 Juni 1998

Nezar Patria

Sumber:
PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D )
PEOPLE’S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
Europe Office
E-mail : prdeuro@xs4all.nl
Date: Tue, 16 Jun 1998 00:38:26 +0200

SELAMAT DATANG DI JURNAL FILSAFAT 90!

Selamat datang di situs kami……..

Jurnal Filsafat 90 didirikan atas insiatif alumni mahasiwa Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) angkatan 1990. Jurnal ini didirikan dari percakapan di Grup Whatsapp Filsafat 90 yang alumninya sudah berserakan di mana-mana dengan berbagai macam profesi. Ada yang menjadi tentara, dosen, wartawan, karyawan bank atau pengusaha. Kecintaan dan kerinduan pada alumni kami, terutama angkatan 1990 Fakultas Filsafat UGM, mendorong kami membuat blog ini.

Kontennya sendiri akan diisi secara demokratis oleh alumni angkatan 1990 Fakultas Filsafat. Tidak ada tema yang mengikat. Dan akan diedit secara kolektif. Karenanya isinya bisa beragam. Dari yang serius sampai yang santai, Garis merahnya adalah bagaimana membumikan ilmu filsafat dalam keseharian. Karena kami percaya, filsafat sesungguhnya lekat dalam hidup sehari-hari. Kami juga percaya, tindakan tanpa refleksi, cenderung akan menurunkan derajat manusia sejajar dengan hewan. Karena manusia adalah mahluk berakal budi.

Dengan kecintaan yang dalam pada ilmu filsafat dan angkatan kami, angkatan 1990 Fakultas Filsafat UGM, inilah karya kami. Tentu saja kami belum sempurna. Untuk itu, kritik dan masukan pembaca akan mendapat perhatian besar dari kami. Akhir kata, silahkan menikmati perjalanan di situs sederhana kami ini.

Penulis pengantar ini juga bukan admin.  Apalagi pembuat dan inisiator situs ini. Tapi hanya salah satu alumnus –dari puluhan– angkatan 1990 Fakultas Filsafat UGM yang mencoba memulai untuk menulis sesuatu di sini. Karena penulis percaya, setiap manusia sejatinya adalah penulis. Karenanya, penulis berani memulai menulis di sini karena tanpa dimulai, situs ini akan selamanya kosong. Itu saja.

Salam

Edy Haryadi (NIM: 75421)