SOLEKHUDIN

M. Wildan

Sidoarjo seakan tak pernah luput dari bencana kemanusiaan skala nasional. Pernah melahirkan pejuang buruh sekelas Marsinah, kabupaten dengan luas paling mungil di Provinsi Jawa Timur itu sejak 2006 lalu dilumat lumpur. Ini sisi lain bencana dari kacamata seorang aktivis.

Usianya sekitar 33 tahun. Dia aktivis muda dan bersahaja. Tubuhnya atletis, ringan senyum dan tangan. Tidak suka belanja dan membawa uang. Pikiran-pikirannya berat, idealis dan mbulet. Bapaknya pelukis lokal Sidoarjo yang telah almarhum. Sejak belia suka memberontak dan meronta. Jalanan baginya adalah ruang berekspresi menentang ketidakadilan. Jauh sebelum maraknya demo-demo di Sidoarjo, dia sudah terlebih dulu hadir dengan tuntutan sederhana; apa yang menjadi hak si kecil maka berikanlah.

Bagi para aktivis di Sidoarjo, Khud –demikian Solekhudin biasa dipanggil– adalah legenda hidup yang mudah dijumpai di saat-saat yang genting. Saat demo menentang korupsi, kolusi dan nepotisme di lembaga-lembaga pemerintahan, misalnya, dengan mudah kita melihat pria bersahaja ini memegang poster. Dia tidak begitu fasih berorasi, juga tidak menjadi macan podium. Tapi, buat para aktivis yang membutuhkan pengkayaan lahan untuk mengembangkan pikiran-pikiran liar yang humanis, dia adalah “dukun”nya.

“Dukun” ini memiliki mantera dengan perangkat yang apa adanya, tapi mampu memindahkan mimpi para aktivis ke tempat yang benar. Sehingga mereka tidak salah arah dan kebablasan. Dia mampu pula menjadikan panggung demo menjadi altar magis. Bila yang lain sibuk mencari kata yang pas untuk meneriakkan kata agar didengar orang, Khud cenderung berdiam diri; menjadi arsitek batin yang sibuk bermeditasi.

Tapi Khud adalah korban lumpur Porong. Rumah dan tanahnya di Jatirejo seluas 5.000 meter persegi kini tinggal kenangan. Suatu kali, kata Khud, ia rindu kampung halaman yang kini dipenuhi lumpur panas. Inilah kerinduan seorang pemuda desa terhadap ruang yang pernah membesarkan eksistensinya. Diciptakanlah perahu dari empat tong yang dilas berjajar, lalu dia mendayung bersama teman-temannya. Rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari bibir tanggul ditempuh selama delapan jam. “Capek karena perahu tidak bisa bergerak, lumpurnya terlalu dalam,” cerita awal Khud.

Mengenai Jatirejo yang kini hilang dari peta itu, Khud memiliki catatan menarik. Di desa yang awalnya dilupakan orang ini, ada pelatuk yang tersembunyi. Di dalamnya tersimpan puluhan ton bahan peledak yang setiap saat siap melumat Sidoarjo. Konon, di sisi Utara desa berdiri kokoh pabrik minuman keras terbesar. Pemodalnya kuat dan banyak. Ada yang dari lingkungan Cendana, Jakarta hingga konglomerat dan birokrat asal Papua. Di sini pula tempat kos para pelacur yang lelah menjajakan diri. Di sudut desa yang lain, pondok pesantren dan masjid sibuk mendaras ayat-ayat Tuhan.

Pabrik minuman keras itu pula yang menghidupi ratusan jiwa warga Jatirejo. Sehingga saat ada ribut-ribut dari kalangan agamawan yang merekomendasi untuk menutup pabrik ini, warga justru membelanya. Di mata kaum agamawan yang hitam-putih, desa jelas menampakkan wajah yang paradoks dan berdosa. Tidak demikian dengan Khud. Baginya, peristiwa ini bukanlah pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, antara hitam dan putih, antara yang santri dan abangan dan seterusnya. Tapi sebuat pergelutan mereka yang berpandangan hitam-putih, mereka yang ingin mengeksploitasi Jatirejo menjadi komoditas untuk melanggengkan bisnis dan politik, dan ragam wajah lain.

Keruwetan itu malah sengaja dipelihara bahkan dipertahankan kaum “pembesar” dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya sangat klasikal; kepentingan pribadi. Tidak lama dari peristiwa ramainya pro-kontra pendirian pabrik minuman keras, bom waktu pun meledak. Sidoarjo jadi headline media massa selama berbulan-bulan  –bahkan bertahun-tahun. Lumpur yang muntah tanpa kompromi itu penanda bumi protes dengan caranya sendiri. Dia kesakitan tubuhnya dibor kaum yang munafik, serakah dan palsu.

Saat warga Jatirejo, Renokenongo, Siring dan lainnya sibuk menyelamatkan harta bendanya, Khud, juga terlihat sibuk. Tapi yang dibawanya hanya lukisan-lukisan Bapak almarhum. Sementara gebyok kayu, kursi dan meja antiknya dibiarkan begitu saja ditelan lumpur. “Bapak dulu melukisnya dengan jiwa, ini harta paling mahal keluarga kami,” ujarnya.

Akhirnya, “Saya kini tiap hari duduk di pinggir tanggul, menghisap kretek, memandangi rumah dan kehidupan kami di masa lalu dan misteri Tuhan yang masih tersisa, kenapa kami yang miskin ini yang dilindas bencana?,” tanyanya gelisah. ***

Leave a comment